YANG BERJALAN DALAM HUJAN
Jika akhirnya malam ini hari sungguh menjadi hujan,
masihkah kau bertahan untuk mengaguminya
(tanpa merasa kedinginan, tanpa bintang-bintang)
walau mata cekungmu begitu sering tertusuk air derasnya?
Mengapa kau tidak merasa terjebak di antara petir-petirnya
yang begitu siap menembus daging lehermu, juga kilat-kilatnya
yang ingin menghanguskan sepasang kelopak matamu,
dan mata kakimu akan lebur dalam genangannya?
Benar saja. Di sana, di jalan yang kaukenal setiap hari,
ketika teman-teman lain nyenyak di balik jendelanya
(yang tak mau memahami awan beranak atau tidak)
kau masih saja berjalan pelan di antara gemuruhnya.
Dalam remang tanpa ada nyala api.
Seperti ada yang ingin kaularutkan dalam hujan:
sebagai kopi yang tertuang di pagi hari.
Atau barangkali kau sedang menyusun sejumlah jawaban,
mungkin juga sebuah kenangan
yang sering kaupersoalkan diam-diam.
Hujan bagimu bukan sekedar mengilapkan kembali
batu-batu di jalan setelah seharian tadi tampak kusam
karena makian orang-orang yang melintas
dengan tergesa, berdua atau bersandiwara.
Bukan hanya yang dapat menggairahkan hutan-hutan.
Hujan adalah apa yang selalu kaurindukan,
dan sesudahnya menjadi bayangan peristiwa yang
membuatmu selalu teringat.
Kau tidak menerjemahkan hujan seperti mereka:
sebagai keinginan untuk cepat pulang dan membenci perjalanan.
Hanya karena membuat punggung menjadi basah,
lalu lahir sebuah alasan bagi rencana yang berantakan.
Sungguh, kau mencintai hujan.
Seperti wanita yang begitu menyukai gambar bunga-bunga.
Ada yang berjalan pelan dalam hujan.
Yang tak merasa bimbang memainkan kenangan.
Dari dalam kotak yang tak dibunyikan.
Sendirian.
Jika akhirnya malam ini hari sungguh menjadi hujan,
masihkah kau bertahan untuk mengaguminya
(tanpa merasa kedinginan, tanpa bintang-bintang)
walau mata cekungmu begitu sering tertusuk air derasnya?
Mengapa kau tidak merasa terjebak di antara petir-petirnya
yang begitu siap menembus daging lehermu, juga kilat-kilatnya
yang ingin menghanguskan sepasang kelopak matamu,
dan mata kakimu akan lebur dalam genangannya?
Benar saja. Di sana, di jalan yang kaukenal setiap hari,
ketika teman-teman lain nyenyak di balik jendelanya
(yang tak mau memahami awan beranak atau tidak)
kau masih saja berjalan pelan di antara gemuruhnya.
Dalam remang tanpa ada nyala api.
Seperti ada yang ingin kaularutkan dalam hujan:
sebagai kopi yang tertuang di pagi hari.
Atau barangkali kau sedang menyusun sejumlah jawaban,
mungkin juga sebuah kenangan
yang sering kaupersoalkan diam-diam.
Hujan bagimu bukan sekedar mengilapkan kembali
batu-batu di jalan setelah seharian tadi tampak kusam
karena makian orang-orang yang melintas
dengan tergesa, berdua atau bersandiwara.
Bukan hanya yang dapat menggairahkan hutan-hutan.
Hujan adalah apa yang selalu kaurindukan,
dan sesudahnya menjadi bayangan peristiwa yang
membuatmu selalu teringat.
Kau tidak menerjemahkan hujan seperti mereka:
sebagai keinginan untuk cepat pulang dan membenci perjalanan.
Hanya karena membuat punggung menjadi basah,
lalu lahir sebuah alasan bagi rencana yang berantakan.
Sungguh, kau mencintai hujan.
Seperti wanita yang begitu menyukai gambar bunga-bunga.
Ada yang berjalan pelan dalam hujan.
Yang tak merasa bimbang memainkan kenangan.
Dari dalam kotak yang tak dibunyikan.
Sendirian.
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)